____Sugeng Rawuh Poro Blogger____

Jumat, 06 Agustus 2010

GATOTKACA




Gatotkaca sebagai tokoh wayang kulit Jawa
Tokoh dalam mitologi Hindu
Nama: Gatotkaca
Nama lain: Bhimasuta; Tetuka;
Tutuka; Hidimbyatmaja
Aksara Dewanagari: घटोत्कच
Ejaan Sanskerta: Ghattotkacha

Golongan: rakshasa

Asal: wilayah timur laut India,
sebelah selatan pegunungan
Himalaya timur[1]

Kediaman: Kerajaan Rakshasa
Pasangan: Ahilawati (versi India), Pregiwa (versi Jawa)
Anak: Barbarika

Gatotkaca (bahasa Sanskerta: Ghattotkacha) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang dikenal sebagai putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya yang bernama Hidimbi (Harimbi) berasal dari bangsa rakshasa, sehingga ia pun dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang besar di Kurukshetra ia banyak menewaskan sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur di tangan Karna.
Di Indonesia, Gatotkaca menjadi tokoh pewayangan yang sangat populer. Misalnya dalam pewayangan Jawa ia dikenal dengan ejaan Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca). Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".
Etimologi
Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasi penguasa sebuah hutan bersama kakaknya yang bernama Hidimba.
Dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.
Dalam bahasa Sanskerta, nama Ghatotkacha secara harfiah bermakna "memiliki kepala seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi.
Kelahiran
Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.
Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.
Menjadi Jago Dewa
Versi pewayangan Jawa melanjutkan, Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.
Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.
Perkawinan
Dalam versi Mahabharata, Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.
Dalam versi pewayangan Jawa, Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.
Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.







Menjadi Raja Pringgadani


Gatotkaca dalam bentuk asli wayang kulit dengan hiasan/pahatan berwarna.
Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.
Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut.
Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.
Kematian Versi Mahabharata
Kematian Gatotkaca terdapat dalam buku ketujuh Mahabharata yang berjudul Dronaparwa, pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. Ia dikisahkan gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.
Versi Mahabharata mengisahkan, Gatotkaca sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.
Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.
Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian Dewa Indra yang bernama Shakti untuk membunuh rakshasa itu. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya bisa digunakan sekali saja dan akan dipergunakannya untuk membunuh Arjuna. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca.
Menyadari ajalnya sudah dekat, Gatotkaca masih sempat berpikir bagaimana caranya untuk membunuh prajurit Kurawa dalam jumlah besar. Maka Gatotkaca pun memperbesar ukuran tubuhnya sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pandawa sangat terpukul dengan gugurnya Gatotkaca.
Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif aman.




Kematian Versi Jawa


Sosok Gatotkaca (kiri) dan Abimanyu (sedang memanah) dalam sebuah lukisan tradisional dari Maharashtra, dibuat sekitar abad ke-19.
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.
Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.
Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.
Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.
Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan perang.
Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.

Pandawa Dadu


Tipu muslihat orang-orang Hastinapura pada, Pandawa selalu dilakukan dengan sengaja supaya kelima Pandawa itu enyah dari bumi. Adapun yang menjadikan lantaran negeri Hastinapura itu akan dibagi dua untuk Pandawa dan Kurawa tetapi pihak Hastinapura senantiasa berdaya upaya supaya negeri Hastinapura tetap menjadi hak Hastinapura seluruhnya. Bagaimanakah akal untuk melenyapkan orang-orang Pandawa itu. Inilah yang didaya upayakan supaya dapat terlaksana.
Patih Arya Sakuni seorang yang cerdik pandai pada tipu muslihat, mengajaklah ia pada Pandawa bermain dadu dan makan minum, dengan bertaruh, mula-mula dengan harta benda, kemudian dengan bertaruh negeri, dan juga dengan cara sembunyi, Kurawa akan membakar tempat bermain itu yang segala-galanya telah tersedia untuk membakar tempat perayaan itu.
Setelah orang-orang Pandawa dikirakan mabuk, dibakarlah tempat itu, dan disangka mereka enyah sekaliannya. Tetapi sebenarnya orang-orang Pandawa itu tertolong oleh Dewa dalam bumi Hyang Anantaboga, sekalian Pandawa dapat tertolong masuk ke dalam bumi.
Suka gembiralah orang-orang Hastinapura setelah para Pandawa itu tewas. Tetapi di kemudian hari para Kurawa dapat melihat para orang-orang Pandawa dengan segar bugar. Malahan. segala tipudaya Kurawa itu semakin menambah kemuliaan Pandawa. Lantaran ini semakin menjadi tipu daya dan akalan Kurawa untuk mengenyahkan Para Pandawa.
Prabu Kresna seorang yang selalu berusaha supaya Pandawa dan Kurawa dapat rukun damai, tetapi hingga dekat perang Baratayudha tak terlaksana. Lantaran ini, Prabu Kresna yang turut bersidang di Hastinapura, keluarlah Baginda dari Pura Hastinapura dan bertiwikrama berupa raksasa yang maha, besar. Digambarkanlah bahwa Prabu Kresna sebesar bukit, kaki kiri menginjak alun-alun selatan dan kaki kanan menginjak Alun-alun utara, dengan bersabda : „Hai orang-orang Hastinapura, jika aku berniat menggempur Pura Hastinapura ini, lenyaplah pada seketika ini juga, tetapi apa gunanya. Tunggulah akan kejadiannya kelak.
Pun para Dewa datang ke Pura Hastinapura mengingatkan pada Prabu Duryudana, janganlah perang Baratayudha terjadi, tetapi sia-sialah, malahan dimulai perang Baratayudha itu. Kemudian habislah riwayat Hastinapura dan Pandawa dalam cerita wayang Purwa.
Pihak orang-orang Hastinapura selalu mencari akal bagaimana dan cara apa supaya dapat merusak kerabat Pandawa. Salah satu tipu- muslihat Patih Sakuni, orang Pandawa diajak bermain dadu, di pihak Pandawa selalu kalah, karena kepandaian Patih Sakuni sangat pandai bermain curang, hingga harta. benda Pandawa habis dipertaruhkan. Kemudian hal itu jadi sebab peperangan kedua pihak.

Bambang Aswatama


Bambang Aswatama adalah anak Danghyang Durna dengan Dewi Wilotama, seorang bidadari yang pada saat berjumpa dengan Durna ia menjelma berupa kuda. Maka nama Aswatama berarti juga kuda yang utama (aswa = kuda). Aswatama seorang sakti, mendapat senjata dari Dewa berupa panah Cundamani, yang dapat mengeluarkan api sepanas-panasnya. Begitupun Aswatama senantiasa dijaga oleh Wilotama, ibunya.
Aswatama mernihak kepada Kurawa pada waktu perang Baratayudha, dan diangkat menjadi penasehat perang.
Selama hidupnya ia selalu diawsi oleh Dewi Wilotama. Semasa Aswatama mendapat bahaya, datanglah sang ibu untuk membantu, maka, Aswatama selalu menang dalam berperang.
Sebenarnya Aswatama sebangsa pendeta, karena ia seorang anak Danghyang Durna, guru Pandawa dan Kurawa. Dan nyata bahwa Aswatama membela.pada kerajaan Hastinapura sebenar-benarnjya, tetapi bantuan itu tak tampak dengan jelas. Oleh karena ia memihak Hastinapura itu, ia duga benci pada Pandawa, dipandang sebagai musuh, pun juga benci pada permaisuri Hastinapura Dewi Banowati, karena ia mengerti bahwa Dewi itu sebagai musuh dalam selimut, karena sebenarnya Banowati memihak pada Pandawa, tetapi pada lahirnya memang ia permaisuri Raja Hastinapura, Duryudana. Maka Aswatama selalu mendendam pada Banowati. Dalam perang, Baratayudha ia.senantiasa mengetahui tipu muslihat musuh dan selalu menang. Sehabis perang Baratayudha Aswatama hendak membunuh kerabat Pandawa dengan menggali tanah akan masuk ke dalam rumah. Aswatama melihat Dewi Banowati, lalu dibunuhnya. Dan ditempat itu Aswatama melihat anak bayi; Parikesit, anak Angkawijaya. Anak itu hendak dibunuhnya pula, tetapi si bayi menangis dengan sekuat-kuatnya dan menendang panah Pasopati, yang digunakan sebagai penjaga bayi. Panah itu terloncat dan mengenai leher Aswatama hingga putus, maka matilah Aswatama seketika itu juga.
Cara menyediakan senjata di dekat bayi untuk penjaga, diikuti juga oleh masyarakat Jawa, tetapi senjata itu diganti dengan senjata mainan saja.
BENTUK WAYANG
Aswatama bermata kedondongan putih, hidung mancung serba lengkap, berketu udeng dengan garuda membelakang, sunting sekar kluwih panyang. Berkalung putran bentuk bulan sabit. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain, tidak bercelana panyang. Dalam cerita Aswatama berkaki kuda dan bersuari lantaran ia beribu kuda.
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.